PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN


Nama : Fatma Yanti

NPM  :  16 630 015



PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN



  1. Pengendalian Banjir

  1. Pengertian Banjir

Banjir adalah fenomena alam yang terjadi di kawasan yang banyak dialiri oleh aliran sungai. Sedangkan secara sederhana, banjir didefinisikan sebagai hadirnya air suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi kawasan tersebut. Berdasarkan SK SNI M-18-1989-F (1989) dalam Suparta 2004, bahwa banjir adalah aliran air yang relatif tinggi, dan tidak tertampung oleh alur sungai atau saluran.


2. Faktor-Faktor Terjadinya Banjir

Banjir merupakan suatu bencana yang tidak bisa kita hindari. Banjir bisa terjadi dimana saja, baik di tempat yang tinggi maupun di tempat yang rendah. Terdapat dua fakor yang menyebakan terjadinya banjir, yaitu faktor alam dan faktor campur tangan manusia.

  1. Faktor Alam

Pada dasarnya faktor utama terjadinya banjir adalah curah hujan yang tinggi. Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporsi, run off dan infiltrasi.

Intensitas curah hujan ditentukan oleh perubahan pada pola iklim. Curah hujan yang berintensitas sangat tinggi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Hal ini menyebabkan jaringan drainase kelebihan volume air dari batas tampungnya dan membuat beberapa sungai meluap. Air tersebut menggenangi daratan dan mulai menghancurkan permukaan-permukaan jalan. Ini adalah awal dari peristiwa terjadinya banjir.

  1. Faktor Campur Tangan Manusia

Selain peristiwa alam, campur tangan manusia juga menjadi salah satu faktor yang besar menyebabkan banjir. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain:

  1. Tata letak kota yang mengabaikan keseimbangan alam.
    Aktivitas tata guna lahan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Kegiatan tersebut merusak hutan dan pemadatan tanah sehingga mempengaruhi kemampuan tanah dalam meloloskan air yang mempercepat proses terjadinya banjir.
  2. Kurangnya lahan resapan air.
    Lahan yang semula digunakan untuk daerah resapan air, sekarang dibangun rumah tinggal/ pertokoan/ perkantoran/ pabrik yang kurang menyediakan saluran air. Semakin banyak permukiman yang dibangun berarti semakin banyak daerah resapan yang hilang, maka semakin besar pula potensi mengalami banjir.
  3. Kegagalan mengelola atau mengatur system-sistem drainase
    Sebenarnya kegagalan bukan terjadi pada saat mengatur system-sistem tersebut, melainkan kesalahan pada saat perancangan. Banyak system-sistem drainase dibuat tidak sesuai dengan kontur yang ada sehingga aliran air tidak berfungsi sesuai yang direncanakan.
  4. Pembangunan rumah di bantaran sungai.
    Pembangunan rumah-rumah tersebut membuat penyempitan badan sungai. Pembangunan ini tidak melihat dampak yang ditimbulkannya akan sangat merugikan mulai dari lingkungan sampai ke perekonomian.
  5. Kurangnya kesadaran masyarakat.
    Prilaku dan kebiasaan masyarakat sulit sekali diubah. Masyarakat sudah terbiasa membuang sampah dan limbah rumah tangga ke aliran sungai. Sehingga sampah tersebut menyebabkan sungai menjadi dangkal dan sampah tersebut mnyumbat dan menghambat aliran air.
  6. Penebangan pohon di hutan.
    Penebangan pohon di hutan menyebabkan kurangnya kekuatan tanah dalam menahan air dan merusak neraca hidrologi.

3. Dampak-dampak yang Diakibatkan Banjir


Banjir yang melanda Indonesia meiliki dampak yang sangat besar beagi kehidupan masyarakat. Kejadian ini tidak hanya mempengaruhi aktivitas masyarakat, tetapi juga mengancam kesejahteraan rakyat di semua elemen masyarakat, diantaranya:

  1. Seorang investor akan berfikir dua kali untuk merealisasikan investasinya di daerah yang rawan bencana. Banyak investor yang akan lari ke luar negeri dan tentu saja beberapa perindustrian akan mati. Tentu saja hal ini akan sangat menghambat jalannya perekonomian.
  2. Menghambat akses transportasi, baik darat maupun udara.
  3. Ancaman wabah penyakit pasca banjir. Banyak bakteri, virus, parasit dan bibit penyakit lainnya yang tersebar bersama banjir.
  4. Ancaman gizi penduduk yang tempat tinggalnya terkena bencana banjir. Korban tidak akan bias melanjutkan hidup selayak sebelumnya tanpa bantuan dari para donator.


4. Penangan Masalah Banjir


Berbicara tentang masalah banjir dan penyebabnya adalah bersifat kompleks, sehingga  penanganan banjir tidak bisa hanya diselesaikan dengan upaya yang bersifat satu sisi seperti kegiatan struktur aja, melainkan juga harus membarengi upaya atau kegiatan struktur tersebut dengan upaya yang bersifat Nonstruktur.

  1. Upaya Struktur

Berbagai jenis kegiatan yang bersifat struktur  tersebut, yang sering dilakukan adalah bertujuan untuk:

  1. Mencegah meluapnya air banjir sampai pada tingkat/besaran   banjir tertentu
    Agar aliran banjir di sungai tidak meluap menggenangi daerah dataran banjir di sekitar sungai, maka dapat dibangun tanggul banjir berikut bangunan pelengkapnya untuk mengatasi banjir dengan tingkat/besaran tertentu, misalnya untuk 5 tahunan, 10 tahunan, 25 tahunan, 50 tahunan, dsb yang didasarkan pada tingkat kelayakannya.

  2. Merendahkan elevansi muka air banjir di sungai
    Upaya ini dilakukan agar aliran banjir tidak menimbulkan limpasan, atau paling tidak untuk mengurangi tingginya limpasan. Kegiatan fisik yang dilakukan dapat berupa normalisasi alur, penggalian sudetan, dan pembangunan banjir kanal. Pelaksanaannya perlu dukungan analisis morfologi sungai, agar didapat rekayasa sungai yang efisien.
    Pembangunan banjir kanal bertujuan mengalirkan/memindahkan sebagian aliran banjir dari sungai langsung masuk ke laut atau ke sungai lain (interconnection) sehingga debit banjir dan ketinggian/elevasi muka air banjir pada sungai asli berkurang.

  3. Memperkecil debit banjir di sungai
    Upaya ini dicapai antara lain dengan membangun bendung/waduk, pemanfaatan daerah rendah untuk waduk retensi banjir, dan pembangunan banjir kanal. Dengan debit banjir yang menjadi lebih kecil, kemungkinan terjadinya limpasan banjir menjadi lebih kecil pula.


  1. Upaya Nonstruktur

Beberapa jenis kegiatan yang bersifat nonstruktur antara lain adalah :

  1. Pengaturan penggunaan lahan di dataran banjir
    Pengaturan penggunaan/pemanfaatan lahan atau penataan ruang di dataran banjir perlu disesuaikan dengan adanya resiko terjadinya banjir. Upaya ini dirasakan sangat mendesak, khususnya pada sungai-sungai yang melewati daerah yang potensial menjadi kawasan perkotaan/pemukiman dan kawasan budidaya lainnya.
  2. Penerapan “Building Codes”
    Untuk menekan besarnya kerugian akibat banjir, pembangunan yang “terpaksa” dilakukan di dataran banjir dapat dilaksanakan dengan memakai konstruksi yang disesuaikan dengan resiko/kemungkinan terjadinya genangan banjir, sehingga bila terjadi genangan tidak mengalami kerugian yang berarti.
    Beberapa upaya yang ditempuh antara lain dengan membangun rumah tipe rumah panggung atau rumah susun, pembangunan jalan dengan perkerasan beton, dsb. Untuk itu diperlukan pemberian informasi ketinggian genangan banjir untuk berbagai periode ulang di dataran banjir.
  3. Penetapan batas sempadan sungai dan penertiban penggunaan lahan di daerah manfaat sungai
    Pada sungai-sungai yang melewati daerah perkotaan batas sempadan sungai mutlak diperlukan agar sungai tidak semakin menyempit dengan adanya pemukiman di sepanjang alur sungai, dan sekaligus terjadinya bencana yang dapat mengancam pemukiman itu sendiri dapat terhindar.
  4. Perbanyak ruang terbuka hijau (RTH)
    RTH di kota besar seharusnya sekitar 30% dari luas kota. Sayangnya di lapangan, ruang terbuka hijau hanya sekitar 10% padahal ini adalah salah satu sarana untuk mengatasi banjir karena ketika hujan turun, air dapat diserap secara maksimal. Di luar itu, RTH berguna untuk mengurangi polusi, menjadi tempat olahraga,  bermain, dan bersantai warga
  5. Menanam pohon
    Hal ini bisa dilakukan di pekarangan rumah, kantor, sekolah dan tempat umum lainnya. Keberadaan pohom dapat menciptakan kota yang hijau, membantu mengurangi polusi udara, memperbanyak resapan air
  6. Membuat Lubang Resapan Biopori (LRB)
    Banyak masyarakat kita belum mengerti seperti apa dan gunanya biopori. Hal seperti ini bisa ditangani dengan sosialisasi oleh pemerintah atau lembaga masyarakat setempat. Di Bandung, Walikotanya sengaja membuat program sejuta biopori dengan mengajak warga. Cara ini cukup berhasil karena di tiap RT minimal mempunyai 1 biopori dan banyak dari masyarakat yang kemudian mengerti tentang LRB. Biopori berguna untuk mengurangi jumlah air hujan atau air dari saluran pembuangan di permukaan tanah.  Biopori sendiri merupakan sebuah lubang berdiameter 10 – 30 cm  dengan kedalaman vertikal 80cm -100 cm. Setelah dibuat lubangnya, diisi dengan batu kerikil pada dasarnya lalu ditutupi dengan sampah organik seperti dedaunan.
  7. Penanganan sampah yang baik
    Merubah kebiasaan masyarakat tentunya bukan hal mudah oleh karena itu diperlukan penanganan tepat sasaran dalam menangani masalah ini oleh pemerintah setempat. Kesadaran pribadi masyarakat perlu ditingkatkan demi kebaikan bersama. Salah satu cara penanganan sampah yang baik adalah selain membuang sampah pada tempatnya yaitu memisahkan antara sampah organik dengan non organik demi mempercepat proses pengolahan sampah

  8. Peran serta swasta dan masyarakat
    Dengan keterbatasan yang ada pada Pemerintah terutama yang menyangkut dana untuk pembangunan prasarana dan sarana fisik pengendali banjir, maka peran serta swasta dan masyarakat harus lebih ditingkatkan.
    Agar banjir tidak menimbulkan masalah yang besar pada masyarakat, dan juga agar masyarakat mengetahui dan menyadari adanya berbagai penyebab terjadinya masalah yang datangnya sebagian besar dari masyarakat sendiri, serta menyadari atas segala keterbatasan yang ada pada setiap upaya mengatasi masalah banjir, maka masyarakat perlu diberi pengertian yang benar. Dengan mengetahui permasalahan secara benar diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi aktif untuk ikut mengatasi dan menghindarkan timbulnya masalah.


  1. Sistem Pengelolaan Kekeringan
    A. Definisi Kekeringan

Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.



            B. Pendekatan dan Indeks Kekeringan

Indeks kekeringan merupakan suatu perangkat utama untuk mendeteksi, memantau, dan mengevaluasi kejadian kekeringan. Kekeringan memiliki karakter multi-disiplin yang membuat tidak adanya sebuah definisi yang dapat diterima oleh semua pihak di dunia. Demikian pula tidak ada sebuah indeks kekeringan yang berlaku universal (Niemeyer, 2008). Perlunya mengembangkan indeks kekeringan adalah:

  1. Secara ilmiah diperlukan indikator untuk mendeteksi, memantau dan mengevaluasi kejadian kekeringan.
  2. Perkembangan teknologi pengambilan data dan metodologi analisis juga memberikan arah baru pengembangan indeks.
  3. Kebutuhan para pemangku kepentingan untuk pelaksanaan alokasi air di lapangan.

            Indeks kekeringan di Turki (Ceylan, 2009) menggunakan kombinasi antara hujan dan tampungan air di waduk. Status kekeringan adalah:

  1. Normal jika hujan berada dalam kondisi normal, dan air tampungan di waduk memenuhi untuk 120 hari;
  2. Awas, jika hujan dibawah normal, dan air tampungan di waduk antara 90 sampai 120 hari;
  3. Waspada, jika hujan dibawah normal dan air di waduk hanya cukup untuk 60 sampai 90 hari; dan
  4. Darurat, jika hujan dibawah normal, dan tampungan air di waduk hanya mampu untuk paling banyak 60 hari.



            C. Strategi Penanggulangan Kekeringan

            Sasaran penanggulangan kekeringan ditujukan kepada ketersediaan air dan dampak yang ditimbulkan akibat kekeringan. Untuk penanggulangan kekurangan air dilakukan melalui: pembuatan sumur pantek atau sumur bor untuk memperoleh air, penyediaan air minum dengan mobil tangki, penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan, penyediaan pompa air, dan pengaturan pemberian air bagi pertanian secara darurat (seperti gilir giring).

Untuk penanganan dampak, perlu dilakukan secara terpadu oleh sektor terkait. Dampak Sosial penyelesaian konflik antar pengguna air.

  1. Pengalokasian program padat karya di daerah-daerah yang mengalami kekeringan.
    Dampak Ekonomi.
  2. Peningkatan cadangan air melalui pembangunan waduk-waduk baru, optimalisasi fungsi embung, situ, penghijauan daerah tangkapan air, penghentian perusakan hutan, dll.
  3. Peningkatan efisiensi penggunaan air melalui gerakan hemat air dan daur ulang pemakaian air.
  4. Membangun waduk-waduk baru untuk menambah cadangan air pada musim kemarau.
  5. Mempertahankan kualitas udara (debu, asap, dan lain-lain) melalui pencegahan pencemaran udara dengan tidak melakukan kegiatan yang berpotensi menimbulkan kebakaran, yang menimbulkan terjadinya pencemaran udara.

            D. Respon dan Mitigasi

Tentu saja respon masyarakat sangat diperlukan dalam menanggapi masalah kekeringan. Kerena kekeringanlah sangat merugikan masyarakat serta makhluk hidup lainnya. Istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.

            Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.

  1.             Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan       aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan      tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat      penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya;
  2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang    bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa   bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada        data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran           komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat.   Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat,   tepat dan dipercaya.
  3. Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi               sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang           daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan            untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan  pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta      usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan         melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).

Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain:

    1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana.
    2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan kegiatan-  kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan;
    3. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya          menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik;
    4. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan;
    5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang            memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.



Daftar Pustaka






Komentar